Kupang, swaratimor.co.id – Teologi harus dimaknai bukan lagi sebuah ilmu yang berurusan di ruang-ruang sakristi atau disekitar altar tetapi harus terbuka kepada fenomena kehidupan nyata yang kerap kali menjadi salib bagi manusia.
Hal ini dikatakan Ketua Panitia Seminar Ekumena, Verry Guru saat membacakan laporan panitia di Hotel Cahaya Bapa, Rabu (18/12/2024).
Menurut Verry, teologi merupakan refleksi atas iman. Karena itu suatu teologi yang tidak berakar dalam Alkitab bukanlah Teologi yang sejati.
“Sabda itu berurat akar dalam Alkitab yang merupakan endapan tertulis dari wahyu Allah dalam sejarah. Sambil berakar biblis, benih itu mengeluarkan tunas mulai dari batang dalam refleksi teologis para bapak gereja sampai pada bulir dan buah dalam renungan teologi setiap era sesudahnya termasuk zaman kita di era disrupsi. Disrupsi merupakan masa dimana perubahan-perubahan yang terjadi itu disebabkan adanya inovasi yang begitu hebat sehingga mengubah system dan tatanan masyarakat luas termasuk masyarakat di NTT. Teologi harus dimaknai bukan lagi sebuah ilmu yang berurusan di ruang-ruang sakristi atau disekitar altar tetapi harus terbuka kepada fenomena kehidupan nyata yang kerap kali menjadi salib bagi manusia,” kata Verry.
Verry yang juga mahasiswa doctoral Sekolah Tinggi Teologi (STT) Ikat Jakarta ini lebih jauh mengatakan, berteologi tidak boleh sekedar mencermati satu buku kuno ke buku kuno yang lain, menikmati literatur-literatur spiritual religius antik dari masa lampau dan mengagumi bahasa dan para frase yang indah-indah. Teologi mets dalam political teologi merupakan suatu teologi yang menjadi sempurna dalam fraksis partisipatoris kehidupan dari kemungkinan penindasan tidak manusiawi karena praksis berteologi harus pula terbuka akan kontribusi disiplin ilmu-ilmu lain.
Dalam ilmu social praktis, lanjut Verry, teori of praktis menegaskan, tiga langkah pendekatan yang berkaitan satu sama lain. Pertama, praksis selalu menampilkan konteks arena khusus yang pada gilirannya memiliki imbas terhadap arena yang lebih luas. Kedua, praksis selalu berada dalam struktur dari relasi-relasi masyarakat yang secara obyektif membangun arena dan ketiga, praksis akan menyusun habitus yang pada gilirannya akan menjadi disposisi karakter mayarakat.
“Inilah beberapa poin pemikiran yang melatarbelakangi digelarnya Seminar Ekumene tahun 2024 dengan thema praksis berteologi dalam aneka perspektif di era distrupsi. Setelah mengikuti seminar, peserta diajak untuk belajar dari Berlian dan Garam. Kita tidak perlu seperti Berlian yang disukai banyak orang tetapi jadilah garam yang dibutuhkan banyak orang,” tandas Verry yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Mudika Katedral Kristus Raja Kupang ini.
Sementara Pendeta Dr. Ruben Nesimnasi,M.Th dalam materinya Teologi Praksis dalam Memperkokoh Spirit Pelayanan Kristus di Dunia mengatakan, orang berbicara teologi berarti orang berbicara tentang Allah, Tuhan. Tapi berteologi berarti apa yang orang pikirkan dan apa yang dikatakan tentang Allah. Jadi Teologi itu berkembang.
“Ketika orang berbicara Teologi itu berarti dia berbicara tentang Allah, berarti dia sedang berteologi. Plato mengatakan bahwa, teologi itu adalah semua karya yang terkait dengan Dewa. Oleh sebab itu saya tidak akan berbicara teologi tetapi saya akan melihat Alkitab dalam praksis berteologi. Pertama, gereja atau umat itu menjadi subyek dalam membaca dan menafsir Alkitab maupun dalam praksis berteologi. Upaya gereja dalam membaca dan menafsirkan Alkitab maupun dalam praksis berteologi sering dihubungkan dengan pakar Teologi, para akademisi, bapak-bapak gereja dan kurang memberi perhatian yang memadai kepada kaum awam yang terlibat dalam praksis berteologi mereka sehari-hari. Dalam realita kehidupan bergereja dan bermasyarakat secara individu maupun kelompok, turut terlibat secara positif maupun negative dan melahirkan keanekaragaman makna dalam interpretasi Alkitab dan praksis berteologi,” jelas Pdt. Ruben.
Dia mengatakan, problematika yang perlu direnungkan adalah apakah keanekaragaman dalam dunia interpretasi Alkitab dan praksis berteologi itu kekayaan atau masalah. Karena setiap orang yang membaca Alkitab, dia punya pra paham dan ketika orang berteologi praksis berteologi lain dari pra pahamnya. Ini melahirkan berbagai denominasi kekristenan dan berbagai-bagai bentuk ajaran. “Yang perlu kita renungkan sekarang apakah itu kekayaan atau masalah? Karena itu perlu melihat proses kanonisasi sesungguhnya itu merupakan proses jemaat-jemaat yang mengungkapkan pengalaman iman mereka dalam menghadapi konteks-konteks yang terus berubah. Dalam kanon Alkitab itu mengungkapkan pengalaman dasar umat beriman yang selalu dikenang, dibaca berulang-ulang, diinterpretasi dan direinterpretasi dan dimodifikasi dan aktualisasikan dalam dinamika konteks kehidupan,” ungkap Pdt. Ruben lagi..
Teks Alkitab yang tertulis itu, lanjut Pdt. Ruben dijadikan untuk mengatasi persoalan gereja tentang berbagai ajaran yang membutuhkan ukuran iman untuk membedakan apa yang benar dan salah, apa yang baik atau buruk dan apa yang sehat atau sesat.
“Kanon Alkitab tertulis juga pada dasarnya sudah tertutup. Tidak ada lagi penambahan teks Alkitab yang baru. Sekalipun demikian, interpretasi terhadap teks Alkitab itu selalu terbuka dan tidak pernah tertutup. Artinya ketika bicara teologi berdasarkan teologi Alkitabiah itu, Kanon Alkitab yang ke 66 Alkitab itu sudah tertutup ditambah dengan Deutrokanonika tetapi proses interpretasi atau pemaknaan terhadap teks-teks itu tidak akan pernah tertutup dan terus mengikuti perkembangan. Alkitab adalah teks terbuka, Setiap orang yang membaca Alkitab tentu dia punya pra paham tentang teks itu. Faktor-faktor tradisi dalam Alkitab seperti sumber, gagasan, symbol, kata terus diinterpretasi dan di reinterpretasi, dimodifikasi dan direorganisasi dan diaktualisasikan oleh para pengarang, oleh para redaktur dan oleh para penerima atau pembaca,” sambung dosen STT IKAT ini.
Interpretasi teks Alkitab yang baik dimasa lampau dan dimasa kini merupakan proses penciptaan ulang teks yang baru dan makna-makna baru. Interpretasi teks-teks tersebut merupakan proses interaksi dengan dunia teks maupun dalam dunia social culture historis dan kebutuhan atau kepentingan actual. Kotbah-kotbah masa kini mengikuti penafsiran masa lalu, yaitu melakukan reinterpretasi, reaktualisasi terhadapteks-teks Alkitab sehingga melahirkan pemaknaan baru bagi dunia masa kini.
Seminar yang dimoderatori Doctor Jelamu Ardu Marius mantan Kepala Biro Humas NTT dan staf ahli Gubernur NTT ini juga menghadirkan narasumber Antropolog Unika Widya Mandir Kupang Pater Gregorius Neonbasu, SVD dengan materinya Teologi Antroplogi Dalam Cita Rasa Masyarakat NTT dan dosen Unkris Artha Wacana Kupang, Pendeta Dr. Lintje Pellu,M.Si dengan materi Dinamika Teologi dan Sikap Solider dalam Menata Kehidupan Keluarga Kristiani.
Hadir pula dalam seminar Ekumene ini mantan Wakil Gubernur NTT, Adrianus Nae Soi, perwakilan Penjabat Wali Kota Kupang, perwakilan Bank NTT, GMNI, PMKRI dan utusan Kantor Agama Kota Kupang.(epo)