Oleh : Verry Guru
(Kasubag Kepegawaian dan Umum Dinas Nakertrans NTT)
Alas Kata
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) secara geopoilitk memiliki posisi yang amat strategis. Mengapa? Karena berbatasan darat dengan Negara Timor Leste dan berbatasan laut dengan Negara Australia. Juga memiliki panorama alam yang luar biasa. Dikagumi hingga manca negara. Sebut saja binatang purba Komodo yang ada di Kabupaten Manggarai Barat, khususnya di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Danau tiga warna Kelimutu di Kabupaten Ende. Panorama laut yang indah dan mempesona di Riung Kabupaten Ngada. Keindahan dan keunikan ‘1000” Moko di Kabupaten Alor. Ringkikan Kuda di Bumi Sumba-Sandelwod menambah pesona tersendiri. Pulau Timor yang terkenal dengan wangi Cendana, Rote Ndao dengan pantai Nembrala, Pulau Sabu yang terkenal dengan megalitikum Batu Kelebba Maja; pun menambah indahnya kisah dan cerita tentang Provinsi NTT.
Meski keindahan panorama alam yang indah dan mengagumkan, namun cerita dan nasib hidup masyarakat di NTT belum juga berubah. Masih “terhimpit bebatuan” dan aneka kesukaran hidup; baik dari aspek ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan serta aspek lainnya. Karena itu, diperlukan “loncatan” strategi kepemimpinan; baik di level Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Jika tidak maka aneka cerita “pilu” yang menghimpit kehidupan masyarakat NTT hanya akan “berulang tahun.”
Gubernur dari masa ke masa
Mari sejenak kita telaah setiap pemimpin khususnya di Provinsi NTT sejak daerah ini terbentuk, pada 20 Desember 1958 silam. Gubernur W. J. Lalamentik (1958-1968) memiliki dua program utama. Pembentukan wilayah kecamatan dan gerakan penghijauan yang dinamakan Komando Operasi Gerakan Makmur. Gubernur El Tari (1968-1978) terkenal dengan motto, tanam, tanam, sekali lagi tanam. Kalau bukan sekarang kapan lagi. Kebijakan utama Gubernur El Tari adalah pembentukan desa gaya baru dan kerajaan-kerajaan tradisional dan mengerahkan tenaga motivator pembangunan desa.
Karena Gubernur El Tari wafat, maka kepemimpinan selanjutnya; meski hanya tiga bulan, usaha Wang Suwandi, SH (April 1978-16 Juni 1978) patut dicatat dan diapresiasi. Beliau mempersiapkan pemilihan Gubernur periode berikutnya dengan amat baik.
Gubernur dokter Ben Mboi (1978-1988) memiliki empat program utama yakni Operasi Nusa Makmur (ONM), Operasi Nusa Hijau (ONH), Operasi Nusa Sehat (ONS) dan Operasi Benah Desa (OBD).
Usai Gubernur Ben Mboi, dokter Hendrikus Fernandez menjadi Gubernur NTT (1988-1993). Kebijakan utama Fernandez adalah Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (GEMPAR) dan Gerakan Membangun Desa (GERBADES).
Selanjutnya Mayjen (Pur) Herman Musakabe menjadi Gubernur NTT pada masa bhakti 1993-1998. Musakabe terkenal dengan Tujuh Program Strategis; pengembangan sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan, pembangunan ekonomi, pengembangan dan pemanfaatan IPTEK, penataan ruang, penataan sistem perhubungan dan pengembangan kepariwisataan.
Selanjutnya Gubernur Piet Alexander Tallo, SH menjadi Gubernur NTT (1998-2003 dan 2003-2008). Piet Tallo terkenal dengan Program Tiga Batu Tungku: Ekonomi rakyat; pendidikan rakyat; kesejahteraan rakyat. Motto Gubernur Tallo adalah mulailah membangun dari apa yang dimiliki rakyat dan apa yang ada pada rakyat.
Gubernur Drs. Frans Lebu Raya memimpin NTT (2008-2013 dan 2013-2018). Gubernur Frans terkenal dengan Program Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera (ANGGUR MERAH). Desa menjadi sasaran utama program ini. Karena desa dijadikan sebagai ujung tombak maka program ANGGUR MERAH Frans lebih dikenal sebagai Program Desa Kelurahan Mandiri Anggur Merah (DEMAM).
Pada periode kepemimpinan 2018-2023, NTT dipimpin atau diarsiteki Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat yang dikenal dengan tagline NTT Bangkit Menuju Masyarakat Sejahtera. Menjadikan pariwisata sebagai prime mover atau motor penggerak pembangunan. Usai memimpin, NTT dipimpin oleh dua pejabat Gubernur yakni Ayodia Kalake dan Andriko Noto Susanto. Dan pada pemilihan Gubernur NTT, 27 November 2024 terpilih pasangan Emanuel Melkiades Laka Lena dan Johni Asadoma. Mereka dilantik Presiden Prabowo di Jakarta pada 20 Februari 2025. Gubernur Melki terkenal dengan Dasa Cita dan tagline Ayo Bangun NTT.
Harus diakui bahwa aneka program pembangunan yang dicanangkan oleh para pemimpin (Gubernur) sebagaimana yang telah diuraikan di atas jelas telah dirasakan oleh masyarakat. Setiap gubernur telah mencatat sendiri program pembangunannya yang ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bahwa masih ada penyimpangan dan kekurangan sana sini dalam pelaksanaan program, semua pasti tahu dan (akan) paham. Yang pasti, mereka semua telah menulis “buku pembangunan” dengan melaksanakan semua program yang telah didesainnya itu. Karena itu, “buku pembangunan” yang telah mereka tulis harus dibaca dalam konteks bahwa mereka telah berjasa memimpin daerah ini dalam kurun waktu dan masa tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
(Gubernur) Bukan Kaum Hipokrit dan Terkadang Dilematis
Budayawan dan penulis terkenal, Mochtar Lubis pernah menulis dan menyebutkan bahwa salah satu ciri utama manusia di Indonesia termasuk di Provinsi NTT adalah hipokrit atau munafik. Dengan demikian, mereka (Gubernur) bukanlah kaum hipokrit yang menjual kemiskinan rakyat, manipulasi angka-angka kemiskinan, dan mengobral penipuan atau tipu daya iblis. Karena mereka semua dipilih secara politik melalui mekanisme politik yang sah dan mereka “berhak” untuk menjadi pemimpin politik di daerah ini.
Realitas politik kita saat ini dipenuhi dengan aneka penipuan dalam banyak varian. Pengalaman banyak pemimpin di negara dan daerah ini menunjukkan janji kampanye mudah dikibuli oleh yang berjanji. Janji kesejahteraan dan kemakmuran rakyat gampang dibaca dan diucapkan dari berbagai forum pertemuan sebagai kesejahteraan dan kemakmuran untuk diri dan kelompoknya sendiri.
Aneh bin ajaib memang. Tapi itulah realitas politik saat ini yang telah menjadi sangat hipokrit karena penipuan dan janji palsu dari para pemimpinnya. Andaikan politik dilaksanakan dengan karakter demokrasi otentik, realitas manipulatif jauh dari negara dan bangsa ini. Problemnya, watak dan karakter manipulatif seakan menjadi-jadi di ruang politik kita. Akibatnya, politik lebih sering dianggap sebagai seni untuk menipu daripada ilmu dan praktik bersama untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan umum atau bonum commune.
Di titik ini, kita memerlukan para pemimpin yang mmpu menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan dengan sebaik mungkin dan bekerja keras demi kemakmuran rakyat. Pemimpin (Gubernur) adalah pemimpin yang berkarakter. Pemimpin yang mampu dan sanggup “membumikan” atau mengimplementasikan nilai etika politik.
Gubernur yang bekerja untuk rakyat dengan demikian adalah manusia yang tengah mendaratkan nilai etika politik dalam ruang demokrasi modern. Masalahnya, dalam banyak kasus, masih banyak pemimpin kita yang terjebak dalam ruang sempit primordial. Suku, agama, budaya, dan aneka varian primordial lainnya dibawa-bawa ke arena dan ruang politik. Inilah yang disebut sebagai politik primordial.
Karena itu, Gubernur Melki harus berhati-hati dan mawas diri. Jika tidak maka “bom waktu” akan menjawabnya. Waspdalah terhadap “para pembisik” yang ingin menjerumuskan Gubernur Melki ke dalam “jebakan” politik pengambilan kebijakan yang beraroma primordial.
Harus diakui bahwa ada saat-saat tertentu, di mana Gubernur Melki dalam keadaan dan posisi yang sangat dilematis. Dilema demokrasi muncul ketika berhadapan dengan pilihan politik individu sebagai basis liberalisasi politik atau harus bertekuk lutut di bawah bayang-bayang regulasi dan aturan obyektif. Ketika kita mengatakan bahwa elit yang terlampau primordial salah, kita sebenarnya tengah merongrong kebebasan individu orang bersangkutan. Sebaliknya, jika ingin disebut demokratis, maka semua pihak harus tunduk dan taat di bawah aturan yang telah dpiutuskan. (*)
