Kupang, swaratimor.co.id – Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon di forum Indonesia-Pacific Cultural Synergy (IPACS) 2025 yang berlangsung di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur 11–13 November 2025, mengungkapkan bahwa laporan UNESCO dan World Resources Institute (2023) menyebut, sebanyak 73% situs Warisan Dunia terancam bahaya terkait air, seperti banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan laut.
“Warisan budaya dan tradisi di kawasan Pasifik menghadapi ancaman serius seperti perubahan iklim. Melalui IPACS 2025, budaya ditegaskan bukan hanya sebagai warisan masa lalu, melainkan sebagai sumber solusi untuk ketahanan iklim, pelestarian lingkungan, dan pembangunan masa depan,” kata Fadli di Hotel Harper Kupang.
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, mengawali sambutannya dengan mengapresiasi keindahan dan keunikan budaya dari seluruh negara peserta IPACS 2025, mulai dari Fiji, Kepulauan Solomon, Tonga, Kaledonia Baru, Vanuatu, Tuvalu, Palau, Kiribati, Papua Nugini, Nauru, hingga Timor-Leste.
Fadli Zon menegaskan bahwa pertemuan ini menjadi momentum penting bagi negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik untuk mempererat kembali nilai-nilai kebersamaan dan kearifan maritim yang telah diwariskan secara turun-temurun.
“Kita bertemu sebagai komunitas kepulauan yang terikat oleh tradisi maritim dan komitmen bersama untuk merawat laut sebagai denyut kehidupan bagi masyarakat kita. Karena itu, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia merasa sangat bangga menjadi tuan rumah pertemuan ini, dimana setiap bangsa membawa kisahnya sendiri yang terjalin menjadi satu dalam hamparan hidup identitas samudra kita,” tambahnya.
Lebih lanjut, Menteri Fadli Zon menggambarkan Indonesia sebagai mega diversity country, negara dengan keberagaman luar biasa, baik dalam kebudayaan maupun keanekaragaman hayati.
“Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 280 juta penduduk yang hidup di lebih dari 17.000 pulau, dengan 1.340 kelompok etnis. Kita juga menjadi penjaga 718 bahasa daerah, atau sekitar 10 persen dari warisan linguistik dunia. Wilayah Indonesia bagian Timur sendiri menjadi tempat bagi lebih dari 300 bahasa yang berbeda, mewakili sekitar 42 persen dari keragaman bahasa di seluruh nusantara,” paparnya.
Selain itu, Fadli Zon juga menekankan bahwa Indonesia merupakan salah satu peradaban tertua di dunia.
“Fosil Homo Erectus yang ditemukan di Sangiran, Trinil, dan Gadong, berusia lebih dari 1,8 juta tahun, mewakili lebih dari setengah catatan evolusi manusia purba dunia. Di Flores – NTT, penemuan Homo floresiensis menunjukkan bahwa manusia purba telah mencapai wilayah timur Nusantara dan mampu menyeberangi lautan terbuka ratusan ribu tahun yang lalu,” paparnya.
Ia menjelaskan, selama beberapa dekade, teori dominan mengenai asal-usul manusia dikenal sebagai Out of Africa. Namun, temuan-temuan terbaru menghadirkan perspektif baru yang menarik, sebuah narasi yang disebut Out of Nusantara. Narasi ini menggambarkan bahwa pergerakan manusia purba bukanlah perjalanan satu arah, melainkan jaringan lintasan migrasi multiregional, di mana kawasan Pasifik dan Oseania berperan sebagai koridor penting bagi mobilitas dan navigasi manusia awal.
“Dari sinilah lahir migrasi Austronesia kuno, yang menghubungkan Indonesia dengan Pasifik melalui budaya Lapita serta warisan bersama masyarakat Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia,” tambahnya.
Dari sisi ekonomi, Fadli Zon menyampaikan bahwa Indonesia dan negara-negara Pasifik memiliki potensi besar untuk menjadikan kebudayaan sebagai mesin pertumbuhan bersama melalui pengembangan industri budaya dan ekonomi kreatif.
Sektor ini, menurutnya, kini menyumbang sekitar 4,3 triliun dolar AS atau sekitar 6 persen dari total ekonomi dunia. Selain itu, ia juga menyoroti peran penting generasi muda di era digital sebagai penggerak utama kekuatan budaya masa depan.
“Kekuatan budaya kita terletak pada generasi muda. Hampir 30 persen penduduk Indonesia berusia di bawah 30 tahun dimana generasi digital yang menjadi motor penggerak kreativitas dan inovasi. Demikian pula di kepulauan Pasifik, sekitar 45 persen dari 1,6 juta penduduknya berusia di bawah 25 tahun. Generasi muda inilah yang menjadi kekuatan kreatif kita bersama, yang akan membentuk masa depan kebudayaan, mengubah tradisi menjadi inovasi,” pungkasnya.
Menurut Fadli, tantangan besar seperti perubahan iklim, yang akan menjadi isu sentral IPACS, kini mengancam keberlanjutan warisan tersebut.
Melalui forum ini, Indonesia mendorong sinergi kawasan dalam melestarikan warisan budaya, memperkuat inovasi, serta membuka peluang yang inklusif bagi generasi muda, pelaku wirausaha kreatif, dan komunitas lokal di seluruh wilayah Pasifik.
“Saya berharap IPACS 2025 dapat menjadi wadah untuk memperkuat jejaring budaya dan saling pengertian antara Indonesia dan negara-negara Pasifik, meningkatkan kesadaran akan dampak perubahan iklim, mendukung pencapaian #Culture2030Goal sebagai pilar pembangunan pasca-2030, dan memberdayakan komunitas, termasuk pemuda dan pelaku ekonomi kreatif,” tegas Fadli.
Melalui berbagai sesi seperti dialog tingkat menteri, pameran budaya, program residensi, diskusi panel, serta pertunjukan budaya, IPACS 2025 diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi bersama untuk memperkuat kerja sama kebudayaan antara Indonesia dan negara-negara Pasifik.
Forum ini juga membuka peluang bagi terwujudnya program residensi seni dan budaya berkelanjutan, yang menjadi wadah bagi para seniman dan pelaku budaya untuk saling berkolaborasi dan berinovasi. Dengan demikian, IPACS 2025 bukan sekadar pertemuan seremonial, melainkan langkah strategis dalam memperkuat diplomasi budaya, pengembangan ekonomi kreatif, dan solidaritas lintas kawasan.
Indonesia-Pacific Cultural Synergy (IPACS) 2025 mengangkat tema “Celebrating Shared Cultures and Community Wisdom” sebagai momentum untuk memperkuat sinergi budaya antara Indonesia dan negara-negara Pasifik.
Pembukaan IPACS 2025 dilaksanakan di Hotel Harper, Kupang pada Rabu, (12/11/2025).
Acara pembukaan IPACS 2025 ditandai dengan pemukulan Tifa secara simbolis oleh seluruh pejabat dan para wakil delegasi negara-negara Asia Pasifik. Momen tersebut menjadi simbol persaudaraan dan semangat kebersamaan di antara bangsa-bangsa kepulauan. Rangkaian acara dilanjutkan dengan peluncuran dan penandatanganan IPACS Commemorative Stamp, serta penampilan memukau dari NTT Children’s Choir dan Sand Art Performance,

Sementara Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena yang didaulat memberikan sambutan pembuka dalam pembukaan IPACS ini menyampaikan apresiasi atas kepercayaan yang diberikan kepada Provinsi NTT sebagai tempat penyelenggaraan forum kebudayaan berskala internasional ini. Menurutnya IPACS 2025 merupakan ajang penting untuk mempertemukan Indonesia dengan negara-negara yang dihubungkan oleh Samudra Pasifik.
“Momentum IPACS 2025 amatlah penting sebagai ajang budaya berskala internasional yang mempertemukan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Pasifik. Kegiatan ini adalah wujud sinergi yang mempererat hubungan budaya antara Indonesia dan negara-negara di kawasan tersebut,” ujar Gubernur Melkiades.
Lebih lanjut, Gubernur menekankan bahwa forum ini juga menjadi kesempatan berharga bagi NTT untuk memperkenalkan kekayaan budaya daerahnya kepada dunia, sekaligus memperkuat soft diplomacy Indonesia di kawasan Pasifik.
“Kami berharap rangkaian kegiatan ini dapat mendorong pertukaran ide dan gagasan kebudayaan secara lebih spesifik, seperti pemanfaatan kearifan lokal untuk menjaga ekologi dan iklim, serta tradisi dan inovasi budaya sebagai kekuatan ekonomi berkelanjutan,” tambahnya.
Ia juga menegaskan pentingnya memperluas pemahaman tentang potensi hubungan kultural antar negara Pasifik guna menciptakan komitmen kolektif terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan. Sebagai penutup sambutan, Gubernur Melkiades menyampaikan pesan penuh makna.
“Semoga dari Kupang, cahaya persaudaraan Pasifik ini menyala sampai ke seluruh samudra, menghubungkan hati dan peradaban manusia,” ungkap Gubernur Melki Laka Lena.
Ia kemudian menutup sambutannya dengan menyanyikan lagu “Aku Papua” dan “Bolelebo” yang menggugah semangat persaudaraan di antara para tamu undangan.
(epo)
