Oelamasi, swaratimor.co.id – Yayasan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) memprakarsai pembangunan Tugu Monumen Peringatan Tragedi 65 di Kelurahan Oesao, Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Tugu tersebut diresmikan, Sabtu (7/12/2024) secara bersama-sama oleh Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (Plt. Sekda) Kabupaten Kupang, Marthen Rahakbauw mewakili Penjabat Bupati Kupang, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sugiro, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani, Ketua Sinode GMIT, Pendeta Samuel Pandie, dan tokoh perempuan GMIT, Pendeta Merry Kolimon.
Tugu Peringatan tersebut dibangun tepat dilokasi kuburan massal tempat 18 korban ‘Tragedi 65 Oesao’ dikuburkan. Peresmian tugu ditandai dengan pengguntingan pita dan pembukaan selubung penutup tugu secara bersama-sama.
Plt. Sekda Kabupaten Kupang, Marthen Rahakbauw, mengatakan tragedy 65 dan 66 adalah salah satu peristiwa kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yang membawa dampak mendalam tidak hanya bagi para korban, tetapi juga keluarga mereka, dan masyarakat luas.
Bagi Marthen Rahakbauw, tugu tersebut adalah wujud pengakuan akan luka sejarah, sekaligus undangan bagi semua untuk merenung, belajar, dan terus memperjuangkan keadilan serta kebenaran.
“Saya memberi apresiasi kepada JPIT yang telah menginisiasi serta mewujudkan pembangunan tugu ini. Itu membuktikan bahwa perempuan memiliki peran sangat penting dalam merawat ingatan kolektif, memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, dan menjadi agen perubahan sosial yang berani”, kata Marthen.
Menurut Marthen, tugu tersebut bukan hanya monumen fisik, tetapi juga monumen di hati dan pikiran semua yang hadir, untuk mengingatkan semua bahwa tragedy dan penderitaan manusia seperti itu tidak boleh lagi terulang.
Pemerintah Kabupaten Kupang, tegaskan Marthen Rahakbauw berkomitmen untuk mendukung upaya rekonsiliasi dan penghormatan terhadap HAM, sekaligus menyampaikan rasa empati yang mendalam atas kehilangan yang dirasakan keluarga korban.
Atnike Nova Sugiro mengatakan, melalui Inpres No.2 Tahun 2023 yang lalu, Presiden Republik Indonesia telah menegaskan bahwa peristiwa tahun 1965 dan 1966 adalah peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia, sesuai dengan apa yang menjadi temuan penyelidikan Komnas HAM sendiri. Pemerintah sendiri menurut Atnike, mendorong mekanisme non judicial bagi korban berupa pemulihan, memorialisasi, dan terlebih upaya agar peristiwa seperti itu tidak terulang kembali.
“Memorialisasi, pemulihan fisik, pemulihan psikis, keadilan, dan pengakuan atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat, adalah hak dari korban. Kami menyadari bahwa korban dan keluarga korban akan selalu hidup dalam kenangan akan peristiwa kepahitan dan kehilangan tersebut, mereka adalah pahlawan yang mengingatkan pada bangsa kita mencegah peristiwa seperti itu terulang lagi. Jadi bagi para keluarga 18 korban peristiwa oesao, berdukalah tetapi berbahagialah, karena kehadiran tugu ini berkontribusi pada perkembangan bangsa Indonesia,” ungkap Atnike.
Sementara Ketua Sinode GMIT, Pendeta Samuel Pandie mengatakan, terima kasih untuk pelukan, terimakasih untuk cara menyampaikan pesan kepada para korban dan keluarga. Bahwa batu peringatan atau tugu monumen tidak hanya ada di Oesao, tetapi dia ada di hati.
“Batu itu menjadi peringatan bahwa sesungguhnya Tuhan ada bersama kita, berjaga-jaga,” kata Pendeta Samuel.
GMIT sendiri, tegaskan Pendeta Samuel, juga menempatkan batu peringatan itu di hati, dan berdiri untuk advokasi kehidupan yang lebih baik sesuai ajaran Yesus Kristus, yang siap menjadi mitra bagi siapa saja termasuk para korban, untuk menemukan kehendak Allah di dunia ini.
Kegiatan peresmian dilanjutkan dengan ibadah bersama yang dipimpin Pendeta Merry Kolimon, dan penyerahan buku berjudul Memori-memori Terlarang, yang menceritakan peristiwa Tragedi 65 Oesao, yang disusun oleh tim JPIT, kepada para tokoh yang hadir.(epo)