Verry Guru.(*)

Oleh : Valerius P. Guru

(Mahasiswa Program Doktor STT IKAT Jakarta)

Alas Kata

Artikel yang sederhana ini sekadar refleksi singkat dari seorang warga negara dalam rangka memperingati dan memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke 80 Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk ukuran usia manusia, umur 80 termasuk kategori lanjut usia atau lansia. Bahkan Alkitab sendiri mencatat bahwa usia rata-rata manusia adalah 70 tahun, dan jika kuat, bisa mencapai 80 tahun; Kitab Mazmur 90:10. Namun, Alkitab juga mencatat beberapa tokoh dengan usia yang sangat panjang, seperti Metusalah yang mencapai 969 tahun. Usia manusia yang panjang ini kemudian menjadi lebih pendek seiring dengan waktu, dan Alkitab mencatat bahwa usia manusia tidak akan melebihi 120 tahun.

Dalam catatan sejarah, khususnya agama-agama disebutkan bahwa usia manusia yang semakin pendek atau tidak berumur panjang diakibatkan oleh dosa. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk yang berwajah. Setiap Individu memiliki wajah. Pada dimensi emosional, kita mengenal ada wajah yang ceria, wajah yang sedih. Pada segi etis moral, ada wajah yang  jujur karena lahir dari kehendak yang baik, dan ada pula wajah yang menipu karena lahir dari kehendak yang tidak baik. Ada pula bentuk-bentuk wajah lainnya.  Ada pribadi yang berwajah satu, ada juga pribadi yang berwajah ganda. Mungkin juga ada pribadi berwajah banyak. Kesemua kategori wajah itu melekat dalam diri manusia. In se di dalam diri manusia. Dalam penerapannya selalu disesuaikan dengan waktu dan kondisi tertentu.

Pribadi manusia yang berwajah satu dan berwajah ganda ini dipengaruhi oleh kualitas karakternya. Karakter yang kuat akan membentuk mental yang kuat. Sedangkan mental yang kuat akan melahirkan spirit yang kuat, pantang menyerah, berani mengarungi proses panjang, serta menerjang arus badai yang bergelombang dan berbahaya. Karakter yang kuat merupakan prasyarat untuk menjadi seorang pemenang dalam medan kompetisi bahkan hingga era hiperkompetitif.

Bagi individu yang berkarakter lemah, tidak akan ada peluang untuk menjadi pemenang. Ia hanya menjadi pecundang, sampah masyarakat, teralienasi, dan termaginalkan dalam proses kompetisi yang ketat. Sebab, ia mudah menyerah, tidak mempunyai prinsip, munafik, pragmatis, dan oportunis, serta tidak mempunyai keberanian untuk menerjang gelombang ombak dan badai yang dahsyat. Ia merupakan gambaran pribadi penakut, langkahnya ceroboh, dan pergerakannya bisa dibaca oleh orang lain atau lawan politiknya dengan mudah.

Hakekat Pemimpin

Di zaman ini, dalam diri para pemimpin kita melekat hakekat kemanusiaan sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu sering menampilkan dunia para pemimpin yang mengutamakan kepentingan diri, kepentingan kelompok, dan kepentingan golongan yang tentu berdampak terhadap keugian kepentingan sosial atau kepentingan umum. Sedangkan sebagai makhluk sosial mewarnai dunia para pemimpin mengutamakan kepentingan sosial dengan mengorbankan kepentingan diri dan keluarga, kelompok dan golongan. Walau realitas sosial menampilkan dunia para pemimpin lebih diliputi spirit keyakinan nilai purba berselimut nilai moderen dengan baju ideologi kapitalis. Tertampilkan kepentingan diri dan kelompok yang diutamakan, menyederhanakan pemecahan masalah dengan anggaran atau uang, tanpa melalui kajian yang serius dan mendalam. Mudah ditebak bahwa terjadi kebocoran anggaran dan aneka praktek KKN tetap terus menggurita.

Namun masyarakat sudah paham bahwa hukum senantiasa belum mampu membantu clean government and effective goverment, karena terjebak dalam pola dam mekanisme penegakan tebang pilih yang lebih mengutamakan kepastian hukum dengan cenderung mengabaikan kegunaan hukum. Apalagi wilayah-wilayah kekuasaan yang tidak dapat terjangkau dengan jaring-jaring hukum, senantiasa bertumbuh subur praktek-praktek kekuasaan yang korup, praktek politik balas budi, dan aneka money polirtics lainnya.

Secara rasional tentu dunia para pemimpin tidak mungkin mengorbankan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan diri untuk lebih mengutamakan kepentingan umum. Namun dalam berbangsa dan bernegara telah dikumandangkan jimat “kepentingan umum diletakan di atas kepentingan pribadi dan golongan.”

Jimat yang mengisyaratkan dunia para pemimpin dipenuhi roh tradisional berselimut nilai moderen dengan anyaman ideologi sosialis. Permasalahan bermasyarakat, berbangsa dan berNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam berideologi mulai muncul. Apakah bangsa Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945 atas nama Bangsa Indonesia, berideolgi Sosialis atau berideologi Pancasila atau berideologi Kapitalis? Tentu jawabannya Ideologi Pancasila, yang dapat dipahami secara de yure sedangkan de facto belum tentu.

Dalam pelaksanaan pembangunan muncul konsep pembangunan manusia seutuhnya sebagai bentuk pengamalan terhadap Pancasila yang dikedepankan oleh T.B Simatupang. Konsep demikian menghendaki dalam dunia para pemimpin harus mampu untuk menyeimbangkan kepentingan individu, kepentingan kelompok dengan kepentingan umum di dalam pelaksanaan pembangunan.

Dalam artian bahwa antara kepentingan diri dan kelompok para pemimpin dengan kepentingan umum harus diseimbangkan. Apabila para pemimpin mampu menyeimbangkan, tentu terimplementasikan kepemimpinan yang bijaksana, kepemimpinan beridelogi Pancasila yang menyeimbangkan ideologi kapitalis dengan ideologi sosialis.

Dengan demikian mungkin tidak akan pernah terjadi polemik yang tidak berkesimpulan: di kalangan elite politik tentang paham ekonomi kerakyatan dengan ekonomi neo liberal, di kalangan elite hukum tentang penegakkan kepastian hukum dengan kegunaan hukum, di dunia demokrasi tentang demokrasi prosedural dengan demokrasi substantive, di dunia media-pers tentang informasi kapitalistik dengan informasi sosialistik, di dunia kampus tentang kajian kuantitatif dengan kajian kualitatif.

Jebakan Jalan Purba versus Jalan Moderen

Pancasila sebagai sebuah ideolgi dengan Lima Sila (KeTuhanan, KeManusiaan, Persatuan, Demokrasi, Keadilan Sosial) muncul di paruh abad XX, tercermati mengandung nilai lama (Purba, Tradisional) dan nilai baru ( Religius, Moderen). Sehingga Pancasila sebagai sebuah ideologi memediasi nilai moderen kapitalis (reinkarnasi nilai purba) dengan nilai moderen sosialis (sublimasi nilai tradisional). Peran keseimbangan demikian tercermati diperankan oleh agama Kristen (Nilai Religius) menengahi nilai purba dengan nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat abad pertengahan.

Tampil nilai religius menawarkan keselamatan akhirat bagi masyarakat barat di abad pertengahan, yakni menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan sosial, membuka jalan nilai moderen. Nilai moderen dalam perkembangan selanjutnya mengkutubkan penganut agama Kristen menjadi Kristen Katolik yang cendrung sosialis dengan Kristen Protestan yang cendrung kapitalis.

Sedangan dalam cermatan jalan nilai moderen mengiris masyarakat Islam Muhamadyah yang cenderung kapitalis dengan masyarakat Islam Nahdatul Ulama yang cenderung sosialis. Para penganut agama lain tercermati sebagai agama purba (Budha), agama tradisional (Hindu) dan berbagai kepercayaan lama yang mengadaptasi dengan zaman moderen atau milenial.

Dalam keterjebakan belenggu nilai purba versus nilai tradisional, belenggu ideologi kapitalis versus ideologi sosialis, di Indonesia tampil Pancasila sebagai ideologi tengah. Ideologi yang merekatkn Kebhinekaan menjadi Tungga Ika: yakni kebhinekaan agama, suku, keyakinan, daerah, dan aneka pilihan politik dapat bersatu dalam wadah NKRI.

Hal ini menandakan bahwa manusia dan masyarakat Indonesia itu sebagai dunia mini. Dalam konteks Flobamorata, telah menegaskan NTT sebagai Indonesia Mini. Tercermati, ideologi tengah sebagai jalan keseimbangan substansi nilai lama dan nilai baru, mendamaikan ideologi kapitalis dan ideologi sosialis. Kini tantangan bagi kualitas diri para pemimpin kita adalah mampukah mengimplementasikan nilai dan ideologi Pancasila untuk memerdekakan rakyat dan masyarakat: dari belenggu kapitalis dan neo liberal, dari belenggu sosialis dan neo komunis?

Penutup

Di tikungan ini, dunia para pemimpin kita tidak boleh memelihara pengutamaan kepentingan diri, kelompok, golongan, dan tidak boleh menggunakan kekuasaan secara feodal yang mengatas-namakan rakyat dan memanipulasi keberadaan umat dengan menghalalkan cara rakyat dan umat tidak boleh digunakan lagi sebagai selimut untuk kepentingan diri, kelompok, dan golongan yang (sedang) berkuasa.

Dunia para pemimpin kita harus bersih dari aneka praktik KKN. Penegakan hukum tidak boleh hanya mengutamakan aspek prosedural (kepastian hukum) atau hanya menekankan substansi hukum (kegunaan hukum). Melainkan harus menyeimbangkan antara kepastian hukum dengan kegunaan hukum menuju keadilan hukum.

Dinamika dalam berpolitik perlu keseimbangan demokrasi prosedural dengan demokrasi substantive menuju keadilan demokrasi. Praktek ekonomi kapitalis perlu diseimbangkan dengan ekonomi sosialis, menuju Ekonomi Pancasila. Kehidupan dan atmosfir media pers sebagai penyalur informasi, harus menyeimbangkan informasi kapitalis dengan informasi kerakyatan (sosialis), sehingga ada balance antara kepentingan penguasa atau pemimpin dengan rakyat, antara dunia usaha dengan konsumen, antara pencari keadilan dan penegak keadilan.

Keseimbangan ini mengisyaratkan dunia para pemimpin adalah dunia orang-orang bijak, yang mampu menyeimbangkan kepentingan diri, kelompok, dan kepentingan golongan dengan kepentingan umum, yang sadar menjalankan kewajiban untuk menerima apa yang menjadi hak-nya. Adakah pemimpin seperti ini? (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: