Kupang, swaratimor.co.id – Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (Stikum) Prof Dr Yohanes Usfunan, SH, MH, Kamis (16/5/2024) menggelar seminar internasional dengan tema, ‘Peranan Hukum Adat Dalam Menyelesaikan Masalah Sosial di Wilayah Perbatasan Republik Indonesia dan Republic Democratic Timor Leste’.
Seminar yang diselenggarakan di aula Stikum Prof Dr Yohanes Usfunan, SH, MH yang terletak di Jalan Pendidikan Desa Nasipanaf Kabupaten Kupang ini, menghadirkan tiga pembicara, yakni Pater Dr. Gregorius Neonbasu, SVD, Rektor Universidade Oriental Timor Lorosae Timor Leste, dr Joaquim de Jesus Vaz, Lic, Med, GB, PG, Ep, MF dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Stikum Prof Dr Yohanes Usfunan, SH, MH, Volkes Nanis, SH, MH. Adapun moderator seminar ini adalah Siprianus Klau.
Hadir bersama Rektor Universidade Oriental Timor Lorosae (Unital) Timor Leste, Wakil Presiden Yayasan Funatil, Lourenco Amaral de Matos dan Dekan Fakultas Perikanan Unital, Mateus Salvador, MSc. Hadir pula dosen, staf dan mahasiswa Stikum.
Direktur Stikum Prof Dr Yohanes Usfunan, SH, MH, Yohanes Usfunan dalam sambutan virtual dari Denpasar-Bali mengaku, Stikum Prof Dr Yohanes Usfunan, SH, MH kedatangan tamu istimewa dari Universidade Oriental Timor Lorosae Timor Leste.
Profesor Usfunan mengaku bersyukur dan berterima kasih atas kedatangan Rektor Universidade Oriental Timor Lorosae Timor Leste dan berjanji akan melakukan kunjungan balasan ke Timor Leste.
Menurutnya, pertemuan-pertemuan seperti ini perlu ditingkatkan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pertemuan akademik seperti ini paling tidak dipandang sebagai kontribusi akademik dan sebagai kontribusi ilmiah bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timor Leste.
“Kami berharap kedatangan delegasi dari Universidade Oriental Timor Lorosae setidak-tidaknya ada nilai manfaatnya. Ada nilai aksiologinya untuk bangsa dan negara Indonesia. Kita tahu bahwa kedua bangsa ini bersatu dalam satu kebudayaan dan adat. Karena bersatu dalam satu kebudayaan dan adat, maka kami pandang perlu untuk kita selenggarakan seminar internasional ini agar kita memberikan kontribusi pemikiran-pemikiran konseptual dan kritis kepada pengambil kebijakan negara dan pemerintah. Atas dasar itu saya kira seminar hari ini sangat penting artinya dalam rangka memberikan kontribusi sekaligus partisipasi universitas kepada negara dan bangsa Indonesia dan Timor Leste,” kata Profesor Usfunan.
Dia menjelaskan, sebagaimana dipahami bahwa konstitusi pemerintah negara Republic Democratic Timor Leste tahun 2002 pada ketentuan pembukaan maupun pembukukan pada Undang-Undang Dasar 1945 berkaitan dengan bagaimana negara bertindak untuk memberikan proteksi terhadap seluruh negara bangsa. Atas dasar itu, seminar akan menjadi penting sekali dalam kaitan dengan kontribusi akademik dan kontribusi ilmiah kepada masyarakat bangsa di dua negara.
Dijelaskan, Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republic Demokratic Timor Leste menyatakan Republic Demokratic Timor Leste (RDTL) adalah negara hukum yang demokratis, berdaulat berdasarkan hukum. Penegasan konstitusional yang sama juga diatur oleh Pasal 2 ayat (2) konstitusi RDTL bahwa negara tunduk pada undang-undang dasar dan hukum negara. Hal itu sejalan juga dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, secara ideologis, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ada dalam konstitusi RDTL tahun 2002 itu mengisi cita-cita bangsa yang cita hukum. Dan cita-cita bangsa dan cita hukum yang dipahami sebagai suatu recht idee (cita hukum) yang bernuansa pada persoalan kepastian hukum dan keadilan.
Berkaitan dengan hukum adat, jelas Profesor Usfunan, sesungguhnya secara konstitusional itu juga telah disebutkan secara limitatif dalam Pasal 18 b ayat (2) UUD 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat, masyarakat tradisional. Karena itu, memberikan proteksi terhadap hak-hak asasi manusia.
Menurutnya, pengakuan terhadap hak asasi manusia baik di Timor Leste maupun di Indonesia disatukan dalam konteks negara kontinental yang mengutamakan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan asas legalitas. “Asas legalitas menunjukkan bahwa segala tindak tanduk pemerintah dan masyarakat harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Demikian juga dalam hal pengendalian negara terhdap persoalan-persoalan masyaraat. Persoalan-persoalan masyarakat yang aktual kami memandang yang penting adalah bagaimana masyarakat di daerah perbatasan antara Timor Leste dengan Indonesia tentunya mempunyai satu ikatan lahir bathin berkaitan dengan kebudayaan,” jelasnya.
Sementara Pater Gregorius Neonbasu, SVD dalam materinya, ‘Hukum Adat yang Memerdekakan Dalam Perspektif Antropologi Hukum’ menguraikan tentang pentingnya sketsa dan skema. Mengapa sketsa dan skema? Karena, sketsa itu harus ada pada depan kehadiran seseorang sehingga dia bisa bernalar dengan baik. Jika tidak, sulit.
“Lalu manusia membutuhkan skema untuk menampaskan segala dengan yang mau dimengerti atau yang mau dipahami. Jadi dengan kata lain manusia membutuhkan skema dan sketsa dalam rangka membangun pengertian dan juga mereview semua kegiatan. Jadi pembicaraan kita hari ini tentang hukum di perbatasan dikaitkan dengan hukum adat, itu akan mustahil kalau tidak ada dua hal ini, sketsa dan skema,” jelasnya.
Pater Gregorius menjelaskan, sketsa mamahami budaya selalu terdiri dari tujuh hal yakni, sistem religi, kepercayaan dan upacara keagamaan: sistem organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa; kesenian; sistem mata pencaharian hidup dan pola dan model teknologi. “Ini satu sketsa besar yang perlu dipahami kalau orang bicara tentang Antropologi,” katanya.
Dijelaskan, skema secara geneologi, masyarakat adalah ilmu hukum dan serentak menjadi darah dan daging hukum. Karena itu sebutan ilmu hukum sudah seharusnya menjadi ilmu hukum dan masyarakat hukum adat.
Sementara, sketsa harus diapresiasi setinggi-tingginya konsistensi dalam menjadikan dan menghadirkan hukum yang memerdekakan manusia. Jadi hukum itu hadir untuk menyiksa tapi memerdekakan.
Dikatakan, hukum bukanlah suatu skema yang final, tapi selalu bergerak berubah mengikuti kehidupan manusia yang progresif. Karena itulah, hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya kontekstuil dan progresif untuk mencapai terang cahaya kebenaran dalam mencapai puncak keadilan. Hukum seperti ini, manusia adalah aktor penting yang utama dibelakang kehidupan manusia, hukum dan adat.
Sementara, Rektor Universidade Oriental Timor Lorosae Timor Leste, Joaquim de Jesus Vaz saat membawakan materi menguraikan, di zaman dahulu sejak nenek moyang sudah mengenal hukum adat. Di Timor Leste ada tiga hukum yakni hukum barat, hukum adat dan hukum agama. “Hukum adat tidak tertulis tapi dijalankan, dihayati dan dimengerti. Di Lospalos, hukum adatnya lebih keras. Karena kalau yang namanya Om, harus dihargai, itu seperti Tuhan. Karena itu dari nenek moyang kami sudah diturunkan harus dihargai. Jadi barang siapa yang melawan Om, dia melawan Tuhan,” katanya.
Menurutnya, di Timor Leste ada 13 distrik. Di dalam distrik banyak suku, ras dan agama. Namun toleransinya tinggi. “Di Timor Leste orang lebih takut hukum adat daripada hukum barat. Jadi kalau kita sudah melawan hukum adat, kita sudah melawan kita punya nenek moyang. Jadi orang lebih takut ke hukum adat,” tegas Joaquim. (epo)