Bambang Mulyanto (Tengah bertopi) saat membawakan materi diskusi buku “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas”.(*)

Kupang, swaratimor.co.id – Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Jogyakarta dan AJI Kota Kupang, Sabtu (3/8/2024) menggelar diskusi buku “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas” di Hotel Sotis Kota Kupang. Tampil sebagai narasumber Bambang Mulyanto selaku penulis dan editor buku “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas”, dan Zarniel Waleka dari Yayasan Perdamaian dan Keadilan Indonesia dengan moderator diskusi Bhekti Suryani dari AJI Jogyakarta.

Dalam diskusi ini AJI Jogja-AJI Kota Kupang mengandeng para jurnalis  media cetak, radio, televisi, media online, akademisi dan organisasi-organisasi masyarakat pemerhati isu minoritas (cso) di Nusa Tenggara Timur (NTT).

AJI Yogyakarta menilai pentingnya menguatkan narasi keberagaman di Tanah Air, salah satunya dengan gelaran diskusi bedah buku berjudul “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas Agama” yang merupakan hasil kompilasi laporan dari lapangan oleh lebih dari 14 jurnalis, baik media nasional maupun lokal.

“Diskusi kita hari ini adalah diskusi menguatkan narasi keberagaman dari hasil liputan lapangan  14 jurnalis dari Jogja, Jawa Tengah, Aceh dan NTT, memotret mengenai isu-isu kelompok minoritas,” kata moderator diskusi Bhekti Suryani dari AJI Jogyakarta.

Ketua AJI Kota Kupang, Djemi Amnifu mengatakan, diskusi buku “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas” menunjukkan peran para jurnalis sebagai control sosial yang mengangkat berita – berita kritis mengangkat keberagaman minoritas dibeberapa daerah di Indonesia termasuk di NTT yang berada di beberapa kabupaten seperti di Kabupaten Sumba, Boti-Timor Tengah Selatan (TTS) dan Sabu Raijua

“Dengan kegiatan hari ini yang melibatkan semua pihak, diharapkan teman-teman jurnalis juga mendapat perspektif baru, motivasi dan semangat  untuk menulis hal-hal yang perlu diungkap ke publik,” kata Djemi Amnifu.

Ketua AJI Kota Kupang, Djemi Amnifu (Baju Hitam berkacamata) diantara peserta diskusi.(*)

Penulis dan Editor Buku “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas”, Bambang Mulyanto, mengatakan, Buku Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dam Minoritas Agama yang diterbitkan oleh AJI Yogyakarta merupakan bukti bahwa penghayat kepercayaan, transgender, dan minoritas agama di Indonesia masih mengalami diskriminasi di berbagai sektor.

Hasil reportase lebih dari 14 jurnalis penerima fellowship, tiga jurnalis, dan tiga mentor di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Aceh, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menunjukkan negara belum sepenuhnya hadir untuk menjamin pemenuhan hak asasi mereka.

“Kelompok kelompok minoritas ini sulit mendapatkan hak-hak mereka, saya sendiri menulis tentang warga Sumba Timur sejak beberapa tahun yang lalu terpinggirkan karena ada pabrik gula disana, cerita – cerita ini yang ingin kami munculkan karena berkaitan dengan manusia,” tandas Bambang

Dijelaskan, kelompok minoritas agama seperti Kristen, Muhammadiyah, dan Salafi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) masih mengalami tekanan dari kelompok mayoritas. Warga Muhammadiyah tidak bisa membangun masjid, Salafi tidak bisa mengelola masjidnya sendiri, dan umat Kristen di Singkil tidak dapat membangun gereja.

Di kelompok lain, negara sudah semakin maju dalam melindungi hak asasi warga penghayat kepercayaan atau pemeluk agama lokal. Tetapi layanan dan pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak penghayat kepercayaan masih tersendat-sendat.

Di NTT, DIY, dan Magelang, murid pemeluk penghayat kepercayaan dan Marapu masih kesulitan mendapat pelajaran sesuai dengan keyakinannya. Prosesnya berliku, belum ada gurunya, dan bahkan dipaksa mengikuti pelajaran agama yang diakui oleh negara.

Begitu pula dengan kelompok transgender yang masih sering mengalami kekerasan baik secara offline dan online. Perundungan hingga pelecehan seksual terhadap transgender masih tumbuh subur di masyarakat. Dari kasus yang ada, hampir tidak ada kasus kekerasan berbasis gender yang dialami kelompok transgender ini yang diproses di pengadilan.

Pemerintah sebagai representasi dari negara yang sepakat berideologi Pancasila harus meningkatkan kehadirannya untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas ini. Buku ini mengirim pesan bahwa negara harus terus berupaya untuk berpihak kepada kelompok minoritas dan bukan justru berdiri bersama kelompok mayoritas dalam menindas kelompok minoritas.

Diskusi Buku “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas Agama”di Kupang  melibatkan sejumlah jurnalis dan organisasi masyarakat seperti Garamin, Kompak, IMOF, Akademisi Undana, Pers Mahasiswa (Persma), Pemuda GMIT, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) semata bertujuan menyebarluaskan fakta dan data terkait kasus intoleransi berbasis kepercayaan maupun gender sekaligus mendorong penguatan narasi keberagaman di tengah masyarakat di NTT.

Selain itu, diskusi buku juga bertujuan mendapatkan  umpan balik dari seluruh pihak lintas organisasi mengenai situasi persoalan yang dialami oleh kelompok minoritas sekaligus mendorong solusi maupun rekomendasi ke depan untuk perlindungan kelompok minoritas, sekaligus mendapatkan perspektif baru dari reportase tentang isu intoleransi, kekerasan, dan pemenuhan hak kelompok minoritas. (ras)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: