Kupang, swaratimor.co.id – Penyakit Kusta sudah ada sejak dahulu kala, bahkan dalam Kitab Suci Kristen penyakit Kusta ini telah disebutkan disana. Sayangnya hingga saat ini tidak banyak orang yang tahu tentang kondisi Kusta di dunia maupun di Indonesia.

Hal ini terungkap dalam  webinar kampus hybrid bertema, “Bring Back Wellbeing Expertise for Leprosy: Yang Muda Yang Berdaya”, Jumat (24/6/2022).

“Tidak banyak yang tahu, publik dunia dan publik Indonesia tentang kondisi kusta di dunia dan Indonesia. Karena itu penting bagi kita untuk gencar mengedukasi stakeholder tentang situasi kusta dunia dan Indonesia,” kata Direktur Eksekutif NLR, Asken Sinaga di Kampus Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.

NLR adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan di Belanda tahun 1967 untuk menanggulangi kusta dan konsekwensinya di seluruh dunia dengan menggunakan pendekatan tiga zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas) dan zero exclusion (nihil eksklusi).

Menurut Asken, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan kasus Kusta tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Namun tidak banyak orang Indonesia yang tahu tentang kondisi Kustaini. Karena itu, mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) dan lokomotif penggerak perubahan kearah yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan motivasi dalam memberikan sumbangsih pada penanganan Kusta di Indonesia melalui pengetahuan, penelitian, pengabdian dan pengembangan pada isu Kusta yang koprehensif dan inovatif di era digital ini.

Asken mengungkapkan, jumlah tenaga kesehatan yang peduli Kusta di dunia dan di Indonesia saat ini berkurang karena para tenaga kesehatan ini beranggapan menangani Kusta tidak ada uangnya.

“Tidak ada regenerasi. Ahli Kusta misalnya seperti Ibu Ning yang akan menjadi narasumber sebentar lagi sudah pensiun dan belum ada penggantinya. Ini memprihatinkan dan ini kesalahan kita karena tidak investmen dan regenerasi ahli Kusta dan segala konsekuensinya,” kata Asken sembari menambahkan, tidak banyak organisasi atau lembaga yang melakukan intervensi terhadap isu Kusta ini.

CINDERA MATA – Asken Sinaga (Kiri) memberikan cindera mata kepada Wakil Dekan Bidang Administrasi Undana Kupang, Yohanis. (Foto: Epo)

“Jadi ada tiga, pertama edukasi kurang sehingga stigma tinggi. Orang Kusta ngumpul disudut-sudut dusun dan nggak mau berinteraksi dengan masyarakat. Kedua, kekurangan tenaga professional dan ketiga, tidak banyak actor organisasi yang bekerja untuk Kusta,” jelas Asken lagi.

Dokter Christina Widaningrum selaku technical advisor NLR Indonesia dalam pemaparannya mengatakan, 6 Provinsi di Indonesia sudah eliminasi kasus Kusta. Namun dia menyangsikan hal tersebut.

“92 Kabupaten/Kota yang ada di 17 Provinsi belum eliminasi kasus Kusta. Hanya ada 6 Provinsi yang sudah eliminasi kasus Kusta. Apakah Provinsi yang sudah eliminasi Kusta ini benar-benar sudah tidak ada kasus Kustanya. Nanti kita lihat,” kata dr. Christina.

Menurut dia, 17 persen penderita Kusta ditemukan dalam keadaan cacat. Bahkan penularan Kusta dikalangan anak-anak juga masih tinggi.

Sementara dr. Ika Febianti Buntoro dosen Departemen Kedokteran Tropis Undana Kupang dalam materinya berjudulperan mahasiswa sebagai agent of change dalam penanganan Kusta, menjelaskan Kusta buka penyakit yang benar-benar mematikan. Namun jika tidak ditangani secara baik maka akan menimbulkan cacat fisik. Jika sudah demikian maka Kusta akan berdampak pada masalah sosial, psikologi dan ekonomi. Karena itu, mahasiwa kedokteran dan kesehatan masyarakat bantu dunia dan bantu Indonesia untuk bebas dari Kusta.

“Kalau melihat tetangga, kenalan kamu ada gejala-gejala Kusta seperti yang sudah disampaikan dokter Ning tadi, silahkan ajak dan beri motivasi agar mereka mau ke pelayanan kesehatan. Terus kalua kamu sudah yakin itu Kusta, harus damping dan jangan lepas jalan sendiri. Karena nanti dia bohong. Kemudian mereduksi stigma. Kusta itu akan menular kalua tidak berobat tapi kalua dia sudah berobat tidak menular,” kata dr. Ika.

Mantan penderita Kusta, John Gideon Adu dalam kesaksiannya mengungkapkan, dirinya di vonis menederita Kusta tahun 1995. Ketika itu dirinya merasa kesemutan dibagian tangan. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, dirinya dinyatakan positif Kusta.

“Waktu itu petugas medis bilang Kusta atau Lepra itu susah disebuhkan sehingga piring dan sendok saya sempat dipisahkan saat makan di rumah,” kisah John.

John mengaku setahun kemudian dirinya dinyatakan sembuh dari penyait menular ini. Namun tahun 2001 dirinya kembali merasa kesemutan pada lengannya dan kembali divonis menderita Kusta.

Dia mengaku termotivasi dari kisah Nabi Musa dalam Alkitab Kristen, yang walaupun menderita Kusta namun dipakai Tuhan untuk menjadi pemimpin yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Karena itu, setelah sembuh, Jhon coba melamar pekerjaan di Lembaga Kusta Indonesia dan bersyukur karena dapat diterima bekerja disana.

Acara webinar ini diakhiri dengan sesi tanya jawab antara peserta dengan narasumber. (epo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: