Oelamasi, swaratimor.co.id – Media sosial dianggap sebagai media penyebar infomasi dan komunikasi yang mudah juga cepat sehingga sangat efektif dalam menyebarkan informasi secara masif. Bagi kaum perempuan penggunaan media sosial menjadi wadah dimana suara perempuan dapat didengar.  Selama ini perempuan dikurung dalam budaya patriakhy yang membuat suara perempuan tidak terdengar, karena tidak diberi kesempatan. Sebaliknya di dunia maya, perempuan bisa berekspresi, bisa menunjukkan kemampuan dan kreasinya serta daya inovatifnya.

Staf Pengajar Unkris Artha Wacana Kupang, Pdt. Dra. Lintje Pellu, M.Si, PhD mengungkapkan hal ini didepan peserta seminar bertema Tantangan Masyarakat NTT Menyikapi dan Memasuki Era Digital Society dan Post Digital Society dalam Perspektif Teologis – Antropologis di Gereja GMIT Ebenhaezer Tarus Barat Klasis Kupang Tengah Kabupaten Kupang Provinsi NTT, Senin (27/06/2022).

Seminar ini digagas dan diselenggarakan mahasiswa Pascasarjana Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang angkatan 2021 yang memilih mata kuliah Antropologi dan diampu Dr. Lanny Koroh, M.Hum.

Lebih lanjut doktor jebolan The Australian National University Canbera itu mengatakan, di pihak lain, ada juga yang memanfaatkan tubuh perempuan, seksualitasnya, untuk kepentingan komersial dan atau keuntungan diri atau kelompok. Oleh karena itu, sebut dia, yang perlu dibangun adalah sebuah komunitas kaum perempuan, ataupun komunitas perempuan dan laki-laki yang cerdas bermedia di era budaya digital ini.

“Bagaimana membangun kesadaran kolektif bagi kaum perempuan untuk cerdas dan arif dalam bermedia sosial, sehingga tidak mudah menjadi sasaran pelecehan, diskriminasi, dan eksploitasi secara seksual, ekonomi dan politis,” katanya seperti dilansir Ketua panitia seminar, Verry Guru yang juga mahasiswa Pascasarjana IAKN Kupang kepada media ini.

Dijelaskan, sadar ataupun tidak budaya digital ini telah mempengaruhi pola pikir (mind set) dan gaya hidup (life-style) manusia pada berbagai lapisan, suku, bangsa, agama, maupun golongan umur dari anak kecil, balita sampai pada kaum lanjut usia.

“Telephone, apalagi android atau gawai (gadget) bukan lagi barang mewah lagi. Ia telah menjadi alat komunikasi yang paling populer saat ini. Dalam satu rumah semua anggota memiliki handphone (HP), bahkan bisa ada yang memiliki lebih dari satu HP. Jadi orang dari berbagai kalangan dari kalangan atas sampai kalangan bawah sudah memiliki media komunikasi dari yang paling canggih ataupun yang basic dan standart (HP senter),” jelas pegiat perempuan yang aktif meneliti budaya Rote.

Saat ini sebut dia, orang cenderung lebih memanfaatkan komunikasi audio-visual dari pada berkomunikasi secara face to face. “Manusia juga semakin menjadi luntur relasi sosialnya. Kesibukan di dunia kerja, menjadi budak tehnologi membuat manusia seolah-olah kekurangan waktu untuk bertegur sapa dengan sesamanya. Anak mengurung diri di kamar selama berjam-jam karena asyik dengan permainan video game nya yang penuh dengan kekerasan dan peperangan.  Orangtua juga demikian sibuk dengan urusan bisnis dan pertemanan di dunia maya sehingga lupa mengecek pekerjaan sekolah dan perkembangan psykhologis anak. Kaum remaja lebih suka chating, curhat dengan teman-teman di luar sana dari pada curhat atau meminta bimbingan dari orang tua. Manusia menjadi kecanduan atau mabuk, adiksi (addictited) tehnologi,” kritiknya.

FOSE BERSAMA – Para Panelis foto bersama peserta kegiatan seminar bertema Tantangan Masyarakat NTT Menyikapi dan Memasuki Era Digital Society dan Post Digital Society dalam Perspektif Teologis – Antropologis di Gereja GMIT Ebenhaezer Tarus Barat Klasis Kupang Tengah Kabupaten Kupang Provinsi NTT, Senin (27/06/2022). (Foto: Doc Panitia Seminar)

Dunia Begitu Sempit

Di tempat yang sama kandidat doktor IAKN Kupang, Pater Fritz Meko, SVD, MA menegaskan, revolusi digital merupakan perubahan dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital yang terjadi sejak tahun 1980 dan berlanjut sampai hari ini.

“Penemuan Handphone oleh Martin Marty Cooper (1973) dengan berbagai aplikasi yang ada di dalam ponsel seperti: Whatsapp, Instagram, Youtube, Microsoft Office, E-mail menyebabkan dunia begitu sempit,” tandasnya.

Menurut Pater Fritz ada beberapa fungsi aplikasi: antara lain mempermudah pekerjaan, sebagai media hiburan, mendapatkan aneka informasi baru, media pertemanan atau komunikasi dan mempermudah kehidupan. “Nah, semua aplikasi ini, memungkinkan komunikasi dalam segala bentuknya menjadi kondusif. Hidup seakan mudah dan semua yang diinginkan mudah diperoleh. Dengan adanya HP menyebabkah dunia bisa dikontrol dengan enteng. Kalau dunia bisa dilipat, maka dunia bisa dibuat baik dan dibuat rusak dalam seketika,” ucap Pater Fritz.

Misionaris SVD yang lama berkarya di Pulau Jawa dan Kalimantan ini lebih lanjut menuturkan, digitalisasi membuat kita kecanduan, terjadi proses dehumaniasi, demoralisasi, desakralisasi, kehidupan privat diintervensi, pengangguran karena konversi pekerjaan dengan robot, destruksi kreativitas, kurangi tenaga manual dalam dalam suatu organisasi, institusi atau industri, cybercrime, alone together, orang tua elektronik, guru elektronik, dan lain sebagainya.

“Di balik kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan ini, masyarakat NTT juga masih punya “setumpuk” kelemahan atau kekurangan. Masyarakat NTT sebenarnya masih tergolong masyarakat Pre-Literer. Sehingga dengan masukanya media komunikasi digital, menyebabkan masyarakat NTT “bingung sekaligus euforia” lalu  membuat mereka seperti  mengalami dis-orientasi,” tutur Pater Fritz, sambil tersenyum.

Bersama Pdt. Lintje Pellu dan Pater Fritz tampil tiga panelis dari Mahasiswa Pascasarjana IAKN Kupang masing-masing Marlince Ena, S.Pd.K yang membedah topik peran keluarga Kristen menghadapi tantangan di era digital society dan post digital society dalam perspektif teologis-antropologis; Victor Imanuel Nani, S.Pd dengan topik peran Pendidikan Agama Kristen menghadapi tantangan di era digital society dan post digital society dalam perspektif teologis-antropologis dan Pdt. Anton Ndun, S.Th dengan topik peran teologis-antropologis Kristen menghadapi tantangan di era digital society dan post digital society dalam perspektif Kitab Suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru).(*/epo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: