Oelamasi, swaratimor.co.id – United Nations Children’s Fund (Unicef), atau Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama mitra kerjanya Yayasan Cita Madani melakukan pendataan anak-anak yang tidak sekolah di 4 Desa yang tersebar di Kabupaten Kupang dan kemudian akan mengajak mereka untuk kembali bersekolah.
Seheny Kudus selaku Program Manager untuk program penanganan anak tidak sekolah Unicef di Indonesia yang berkantor di Jakarta mengungkapkan hal ini saat beraudience dengan Bupati Kupang, Korinus Masneno dan Plt. Sekda Kabupaten Kupang, Novita Foenay serta sejumlah pimpinan OPD lingkup Setda Kabupaten Kupang, Jumat (17/3/2023).
“Program penanganan anak tidak sekolah merupakan salah satu program utama kerjasama Unicef dan Pemerintah Indonesia di sektor pendidikan yang akan berlangsung hingga akhir 2025. Di Provinsi NTT kami mulai melakukan replikasi pelaksanaan program ini di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Kupang dan TTS. Sejauh ini program berjalan sangat baik, tentu berkat dukungan Bapak Bupati beserta seluruh jajarannya dan keterlibatan stake holder terkait di Kabupaten Kupang dalam pelaksanaan berbagai kegiatan yang dilaksanakan sejak September tahun lalu,” kata Heny di ruang rapat Kantor Bupati Kupang di Oelamasi.
Dalam konteks penanganan anak tidak sekolah yang dikerjasamakan Unicef dengan Pemerintah Indonesia, lanjut Heny, ada sejumlah komponen utama yang menjadi fokus implementasi program kerjasama saat ini. Komponen tersebut antaralain pertama, terkait penyediaan data anak tidak sekolah yang akurat.
“Jadi kalau kita flashback beberapa waktu yang lalu kita melihat bahwa salah satu hambatan utama yang menjadi tantangan, yang membuat kita tidak bisa menyelesaikan target kita untuk wajib belajar 9 tahun dan sekarang wajib belajar 12 adalah karena tidak ada data yang akurat tentang data anak-anak kita yang tidak bersekolah. Oleh karena itu, kita mencoba mengisi kekosongan ini dengan memperkenalkan program anak tidak sekolah melalui program pendataan anak tidak sekolah di tingkat desa dan kelurahan yang diidentifikasi by name, by address anak-anak kita yang tidak bersekolah serta alasan yang menjadi penyebab mereka tidak bersekolah,” ungkap Heny.
Komponen kedua, jelas Heny lagi, terkait strategi nasional (Stranas) penanganan anak tidak sekolah yang sudah dikembangkan bersama Bappenas dan sudah di launching Desember 2020 lalu oleh Kepala Bappenas. Stranas ini diharapkan bisa menjadi rujukan untuk penanganan program penanganan anak tidak sekolah melalui kebijakan dan program yang ada di SKPD terkait, yang harapannya bisa secara langsung dan tidak langsung berkontribusi kepada penanganan anak tidak sekolah di daerah yang menjadi kerjasama.
Komponan ketiga, kata Heny lagi, gerakan kembali bersekolah. Berdasarkan studi yang dilakukan Unicef secara global menunjukkan bahwa semakin lama anak tidak bersekolah semakin sulit buat mengembalikan mereka ke layanan pendidikan. “Kalau kita melihat data Susenas tahun 2020 yang dianalisa Unicef, untuk konteks Indoenesia ada 4, 1 juta anak usia sekolah umur 7-18 tahun yang tidak bersekolah dan lebih dari 70 persen dari populasi anak tidak sekolah tersebut adalah anak usia 16-18 tahun yang sudah berhenti sekolah 2 atau 4 tahun sehingga sangat sulit untuk mengembalikan mereka ke layanan pendidikan. Oleh karena itu, kita mendorong agar ketika anak-anak sudah diidentifikasi yang tidak bersekolah kita bisa segera memfasilitasi mereka ke layanan pendidikan agar lebih mudah dan tidak sulit buat anak-anak tersebut untuk kembali beradaptasi dengan pembelajaran,” kata Heny lagi.
Hal lainnya, terang Heny lagi, adalah terkait dengan dukungan kebijakan dan integrasi program-program penanganan anak tidak sekolah ke kebijakan Pemerintah yang ada.
“Ini yang kami sangat harapkan dari program kerjasama yang berlangsung saat ini termasuk dengan Pemerintah Kabupaten Kupang, yang sejak kita melakukan ujicoba program ini di empat desa yaitu Nekmese, Sahraen, Manulai I dan Desa Oetmanunu kita bisa memperlihatkan bahwa dengan mempunyai data anak yang tidak bersekolah akurat sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan dan bisa kita petakan dari situasi kedudukan anak kita ditingkat desa yang harapannya kemudian bisa didukung dengan adanya sumber daya untuk membantu anak-anak kita yang tidak bersekolah ini agar segera kembali bersekolah,” paparnya.
Heny menambahkan, hal penting lainnya dari yang telah berlangsung selama ini di Kabupaten Kupang adalah pihaknya baru-baru ini telah mengembangkan draf Rencana Aksi Daerah (RAD) pengembangan penanganan anak putus sekolah (APS) untuk Kabupaten Kupang.
“Kami mohon dukungan Bapak Bupati agar RAD ini yang masih dalam tahap draf bisa segera di finalisasi dan harapannya bisa didukung dengan adanya tim penanganan APS di tingkat Kabupaten yang bisa menggunakan tim-tim yang sudah ada atau tim baru yang diangkat itu jika diperlukan. Selain itu, kami berharap penanganan APS ini bisa berekspansi seluas mungkin di Kabupaten Kupang. Kita baru melakukan uji coba di 4 desa dan dari draf yang ada, ada pemikiran untuk memperluas program penanganan APS ini ke 160 Desa dan 17 kelurahan di 24 Kecamatan. Mudah-mudahan ini bisa terwujud tentunya dengan dukungan Bapak Bupati dan jajaran Pemerintah Kabupaten Kupang,” tutup Heny.
Sementara Bupati Kupang, Korinus Masneno dalam kemsempatan ini menyambut positif program yang dilaksanakan Unicef di Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS.
Menurut Masneno, ada sejumlah factor yang menjadi penyebab seorang anak tidak bersekolah. Faktor tersebut diantaranya adalah factor ekonomi dan kesadaran.
“Mungkin bisa jadi faktor ekonomi dan kesadaran. Diperlukan adanya pemberian input, sosialisasi terus-menerus tentang pentingnya anak-anak ini kemudian harus mengenyam pendidikan 12 tahun. Sosialisasi tentang pentingnya pendidikan kepada masyarakat,” kata Masneno.
Mantan Wakil Bupati Kupang ini mengatakan, pendekatan untuk menyukseskan program ini akan menjadi tajak ketika sudah memiliki data yang jelas.
“Pendekatan kita tidak akan lebih tajam manakala kita tidak memiliki gambaran data yang jelas. Gambaran data yang jelas itu meliputi persebaran anak yang tidak sekolah itu di Kabupaten Kupang,” kata Masneno didampingi Plt. Sekda Kabupaten Kupang, Novita Foenay.
Lebih jauh Masneno menjelaskan, pola pikir sebagian masyarakat Kabupaten Kupang yang ada di pedalaman antaralain anak harus langsung terjun ke dunia kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada juga yang berpikir, anak yang tamat dari sekolah harus bekerja menjadi PNS atau tenaga kontrak daerah.
“Ciri-ciri kebiasaan yang berlaku di masyarakat-masyarakat Kecamatan yang bagi dia itu lebih penting anak langsung terjun ke dunia kerja yang sesuai dengan kebutuhan mereka di lapangan daripada harus melalui pendidikan. Nah banyak orang di kampung ini berpikir, orang sekolah itu harus dapat bekerja menjadi PNS, tenaga kontrak. Untuk apa lagi bersekolah, Bupati sudah ada kog, kepala dinas sudah ada kog. Nah ini sebetulnya kondisi mental yang dimiliki dan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di lingkungan masyarakat. Untuk upaya merubah pola pikir ini tidak terlalu mudah,” ungkap Masneno.
“Saya bersyukur atas kerjasama dari Pemerintah Pusat, Depdikbud dengan Unicef dan telah tiba di Kabupaten Kupang dan TTS serta telah melakukan operasional turun ke lapangan dan hari ini bersama-sama dengan mitra yang ada untuk menyusun rencana aksi. Rencana aksi yang saya lihat ini sudah betul, harus mulai dari pendataan dulu. Habis pendataan coba di harmonisasi dengan program-program yang sudah ada misalnya program penanganan kemiskinan, penanganan pembinaan mental merecovery masyarakat agar berpikir lebih lurus kedepan bahwa sekolah itu dalam rangka mencari kerja tapi sekolah itu untuk pintar dan menciptakan kerja. Ini yang masih menjadi soal untuk masyarakat di kampung,” ungkap Masneno lagi sembari menambahkan, salah satu program aksi yang penting itu adalah sosialisasi dan mengantarkan anak-anak kembali ke sekolah.(epo)